Culture

Bahasa Daerah: Apakah Masih Diperjuangkan Zaman Sekarang?

Bahasa Daerah

Waktu kecil, saya fasih banget pakai bahasa daerah. Di rumah, itu satu-satunya bahasa yang dipakai orang tua. Tapi semuanya mulai berubah saat saya pindah ke kota besar.

Di sekolah, saya dibecandain karena logat saya medok. Ada yang niru-niru gaya bicara saya dan ngetawain. Lama-lama, saya mulai menghindari bahasa itu.

Saya mulai pakai bahasa Indonesia campur sedikit-sedikit Inggris. Saya pengen “terlihat pintar”. Dan sedihnya, saya pelan-pelan kehilangan kemampuan bicara dalam bahasa daerah saya sendiri.

Saya Dulu Malu Ngomong Bahasa Daerah

Bahasa Daerah

Bahasa Daerah Dianggap “Kampungan”? Itu Masalah Kita Bersama

Kalau kamu pernah ngerasa malu ngomong bahasa daerah di depan umum, kamu gak sendirian.

Ada stigma yang nempel kuat:

  • Bahasa daerah = ketinggalan zaman

  • Logat lokal = nggak profesional

  • Campur bahasa Inggris = keren dan modern

Padahal, justru dalam bahasa itulah tersimpan nilai-nilai yang membentuk jati diri kita.

Dan ironisnya, semakin kita merasa “maju”, semakin kita menjauh dari akar yang membesarkan kita.

Bahasa Daerah Lebih dari Sekadar Alat Komunikasi

Saat saya mulai menyadari hilangnya kemampuan saya berbahasa daerah, saya merasa kehilangan sesuatu yang dalam.

Saya sadar:

Bahasa ibu bukan sekadar kata. Tapi wadah dari emosi, kebiasaan, nilai, bahkan cara kita memandang dunia.

Contohnya?

  • Kata “rindu” dalam bahasa daerah saya punya nuansa yang berbeda dari bahasa Indonesia. Lebih dalam. Lebih hangat.

  • Istilah sapaan ke orang tua atau tetua punya struktur rasa hormat yang gak bisa sepenuhnya diterjemahkan.

  • Pantun, peribahasa, sampai doa-doa dalam bahasa daerah punya makna yang jauh lebih spiritual ketimbang versi modernnya.

Kenapa Bahasa Daerah Mulai Terancam Punah?

Bahasa Daerah

Saya pernah baca data dari Badan Bahasa yang menyebut lebih dari 40% bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Bahkan ada yang dipakai kurang dari 100 penutur aktif.

Penyebabnya?

  • Generasi muda gak diajarin lagi

  • Sekolah fokus bahasa Indonesia dan asing

  • Orang tua juga mulai berhenti pakai di rumah

  • Globalisasi bikin kita nyambungnya lewat bahasa yang “lebih umum”

Sedihnya, banyak anak muda paham lirik K-pop tapi gak ngerti arti omongan kakek-neneknya sendiri.

Saat Saya Coba Belajar Lagi Bahasa Daerah Saya

Setelah bertahun-tahun tinggal di kota, saya iseng belajar lagi. Awalnya dari lagu daerah, terus dengerin rekaman lama, lalu mulai coba ngobrol sedikit-sedikit dengan keluarga.

Saya juga sempat ikut komunitas kecil pelestari bahasa di tempat asal saya.

Dan rasanya… magis. Seolah-olah saya dibawa balik ke masa kecil. Saya bisa ngerasain kembali memori, rasa, bahkan energi yang beda banget kalau pakai bahasa ibu.

Saya mulai ngerti, kenapa bahasa itu layak diperjuangkan.

Tapi… Apa Emang Bisa Hidup Lagi?

Ini pertanyaan jujur yang saya ajukan ke diri sendiri.

“Bahasa daerah kan kalah pamor. Kalau gak dipakai di dunia kerja atau teknologi, gimana bisa bertahan?”

Ternyata jawabannya bukan “lawan globalisasi”, tapi temukan ruang baru buat bahasa itu hidup.

Misalnya:

  • Bikin konten lokal (puisi, video pendek, humor) pakai bahasa

  • Gunakan di grup keluarga, minimal buat ngobrol sehari-hari

  • Libatkan anak kecil dalam dongeng atau permainan tradisional

  • Dokumentasikan percakapan dalam bentuk digital

  • Gunakan dalam karya kreatif modern: film pendek, musik, bahkan meme

Saya Sadar, Bahasa Daerah Butuh “Rebranding”

Bahasa Daerah

Bahasa daerah bukan harus jadi “bahasa museum”. Tapi jadi bahasa hidup, yang fleksibel tapi tetap punya akar.

Saya bayangin:

  • Seorang TikToker yang nge-review makanan pakai bahasa

  • Rapper lokal yang nyisipin logat khasnya di lirik

  • Komik digital yang dialognya pakai bahasa

  • Podcast yang bahas gosip kampung tapi dengan gaya storytelling keren

Ini bukan soal balik ke masa lalu. Tapi soal ngebawa akar kita ke masa depan, dikutip dari laman resmi Glints.

Manfaat Langsung Saat Saya Pakai Lagi Bahasa

  • Koneksi dengan keluarga makin dalam

  • Komunikasi sama orang tua jadi lebih hangat

  • Saya jadi punya “identitas unik” yang bisa dibawa ke mana-mana

  • Jadi bahan konten yang orisinal dan relatable

  • Saya merasa “punya tempat” di tengah dunia yang cepat berubah

Dan yang paling saya suka?

Rasanya kayak pulang.

Tips Buat Kamu yang Mau “Balikan” Sama Bahasa Daerah

  1. Mulai dari kata sederhana dulu – sapaan, angka, makanan

  2. Latih dengan teman atau keluarga yang ngerti

  3. Jangan takut salah—ini bukan ujian bahasa!

  4. Gabung komunitas pelestari bahasa di kota atau online

  5. Gunakan di tempat yang aman dulu—chat pribadi, vlog, atau note pribadi

Penutup: Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?

Bahasa daerah gak akan mati karena gak keren. Tapi karena kita berhenti percaya kalau dia pantas hidup.

Kita bisa modern, melek teknologi, dan tetap cinta bahasa ibu. Karena justru di situlah jati diri dan warisan kita yang paling otentik.

“Kalau kamu kehilangan bahasa ibumu, kamu kehilangan cara paling jujur untuk mengungkapkan siapa dirimu.”

Baca Juga Artikel dari: Pernah Cuan, Pernah Boncos: Kisah Saya Belajar Dunia Kripto

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Culture

Author